Sabtu, 12 November 2011

Membebat Mitologi Pahlawan Megalit


DATA BUKU
Judul               : Menggugat Kebudayaan Tadulako & Dero Poso
Penulis             : Jamrin Abubakar
Penerbit           : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah
Cetakan           : I, April 2011
Tebal               : 112 halaman
ISBN               : 978-602-96792-1-2


TIDAK banyak orang tahu situs-situs megalitikum di nusantara, apalagi yang letaknya di timur Indonesia tepatnya di Desa Doda, Dataran Tinggi Behoa Kabupaten Poso Sulawesi Tengah ini. Bahkan Wiyono Yudoseputro, seorang ahli seni rupa purba menyatakan bahwa salah satu patokan masa Megalitikum  tertua di Indonesia adalah peninggalan benda temuan yang terdapat di Lembah Bada Sulawesi Tengah. Struktur batunya masih kelihatan jelas dengan garis pahatan yang sederhana dan kasar. Bila dibandingkan dengan peninggalan Megalitik di Sumatera yang lebih maju, dilihat dari pahatan yang lebih halus dan bentuknya lebih dinamis.
            Dari sekian banyak hasil peninggalan masa Megalitik ada sebuah patung peninggalan purba yang menunjukkan patung manusia tegak lurus dengan langit, tingginya 2 meter. Patung itu memiliki energi secara kultural dan filosofi bagi etnis Kaili, Kulavi, Napu, Behoa, Bada, Mori dan Pamona di Sulawesi Tengah. Secara arkeologi dan antropologi dari peninggalan Megalitik tersebut menjadikan penelusuran awal untuk memahami asal-usul istilah Tadulako yang menjadi legenda. Bagi masyarakat, Tadulako melambangkan pemimpin perang yang penuh kharisma, ksatria, perkasa, adil, dan bijaksana.  Di sekitar patung Tadulako terdapat dua buah Kalamba yang berukuran besar, satu terbuka dan satunya tertutup.
            Kalamba yang terbuka berisi air hujan, sedang yang tertutup tidak diketahui isi dalamnya karena materi batu yang sangat berat hingga tidak pernah dibuka. Sehingga semakin menambah misteri apa yang terdapat di dalamnya, kecuali beberapa kalamba tanpa penutup di ekitar Lembah Behoa sudah diketahui, diantaranya berupa tulang-tulang manusia yang pada tahun 2000 tulang-tulang tersebut di bawa ke Jakarta oleh tim peneliti kepurbakalaan.

Ekspedisi Tadulako

            Sulitnya menguak tabir Megalitik di Lembah Besoa disebabkan oleh medan perbukitan yang terjal. Hingga penulis dan sejumlah rekannya melaksanakan Ekspedisi Tadulako yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 157 km. Di area tersebut, belum ada angkutan atau kendaraan yang mampu melewatinya, mengingat lokasi yang ekstrem. 
            Inilah awal kesaksian penulis, pembuktian dari era Megalitikum sampai generasinya berpindah ke zaman migrasi dan zaman sejarah, dimana terdapat dua paduan klasik dan saverigading.
            Tadulako adalah ksatria yang jasa-jasanya menyatukan suku-suku yang dulunya bertikai kini menjalin kekerabatan. Oleh masyarakat Behoa dibuatlah Patung Megalit Tadulako di bukit Bulili, Desa Doda Kecamatan Lore Tengah.

Legenda Tadulako

            Tadulako adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin karena keberanian dan kepahlawanan membela tanahnya.
Alkisah, di Desa Doda Lembah Behoa hidup suami istri yang cukup lama belum dianugrahi anak, dengan doa dan takdir cinta mereka dikaruniai seorang putra. Mereka memberinya nama Lengkatuwo. Lengka artinya purnama dan tuwo artinya hidup. Bila dipadankan dua kata tersebut bermakna hidup sempurna. Lengkatuwo ini adalah nama lain dari Tadulako.
            Waktu demi aktu berlalu Tadulako beranjak dewasa berbagai ilmu kanuragan, beladiri, menombak dan memanah ia kuasai dengan detil. Keahliannya itu cepat tersebar ke berbagai kampung. Suatu waktu, ia diundang untuk membantu suku Bada menghadapi serangan orang-orang Waebonta di wilayah Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelum berangkat ke medan perang, ibunya berpesan bila selesai tugas cepat pulang, sebab tunangannya sudah menunggu di tanah kelahiran.
            Tadulako melawan musuhnnya diakhiri dengan kemenangan demi kemenangan. Bahkan perdamaianpun terjalin, sehingga orang Bada merasa berhutang budi padanya. Ia diminta untuk menikahi putri raja yang jelita dan menetap di Bada. Dilema terjadi dalam diri Tadulako. Namun ia putuskan untuk menerima pinangan itu.
            Suatu hari tadulako bersama istrinya yang hamil pulang ke Behoa. Kedatangannya dijemput dengan upacara kebesaran sebagai ksatria perang, meski demikian orangtuanya kecewa terlebih sang kekasih yang sudah lama menunggu. Beberapa waktu kemudian, Tadulako bertandang ke rumah kekasih lama yang saat itu sedang asik menumbuk padi dengan lesung. Tiba-tiba saja, kekasih yang murka menghujamkan alu ke kepala Tadulako. Tak ayal, Tadulako yang terkenal sakti tersungkur ke tanah. Pendudukpun gempar, ahli perang yang tak mudah ditaklukan musuh-musuhnya tewas di tangan seorang wanita.

Kontraversi Kebudayaan Tadulako

            Kesaksian penulis diawali ketika sebuah ide pembentukan kesatuan suku bangsa Tadulako yang digulirkan oleh  Rusdy Toana, seorang tokoh di Sulawesi Tengah. Kontraversipun terjadi karena budaya itu bukan persoalan revolusi melainkan evolusi, seorang budayawan Masyudin Masyuda menganggap kebudayaan Tadulako ini sama saja dengan menyaingi Bhineka Tunggal Ika.
            Budaya Kaili memang sangat menarik sebab sistem demokratisasi dalam tatanan adatnya yang aneh sekali. Sayangnya di tanah Kaili belum ada ilmu seperti; Javalogi, Sundalogi, Lagaligologi, atau semacam cagar budaya. Sehingga reaktualisasi kebudayaan Sulawesi Tengah perlu diciptakan, sama dengan halnya Indonesia yang juga diciptakan bukan terbentuk dengan sendirinya.
            Polemik dialek dan bahasapun juga diungkap dalam buku ini, khususnya etnis dan subetnis yang menggunakan istilah Tadulako. Di daerah Luwuk Banggai, Tomini, Tolitoli an Bungku belum ditemukan. Sehingga kata ini dirasa mendominasi daerah-daerah tersebut apabila dipaksakan, seperti halnya Toriaja atau Toraja masuk ke tanah Kaili dan Pamona oleh DR. Kruyt tahun 1897 dalam bukunya Van Poso naar Parigi, Sigi in Lindoe.
            Mengingat bahasa itu adalah domisili bukan dominasi, Kebudayaan Tadulako menjadi prahara di masanya. Sebab tidak seluruh etnis Sulawesi Tengah mengenal baik istilah Tadulako dalam dialek bahasanya. Keinginan kuat untuk membentuk Kebudayaan Tadulako dinilai tak akan menandingi Bhineka Tunggal Ika, ini istilah perekat yang dipakai untuk menyatukan etnis. Mengingat Sulawesi Tengah memiliki sangat banyak etnis asli seperti etnis; Kaili, Kulavi, Napu, Behoa, Bada, Mori, dan Pamonai. Tidak seperti di Jawa hanya etnis Jawa, di Jawa Barat ada etnis Sunda, dan lain-lain. Selain itu keinginan adanya lingua franca di Sulawesi Tengah yang juga masih diambang perselisihan. 

Dero dibenci

            Sejak kesepakatan Deklarasi Malino untuk perdamaian Poso, dero masih dibenci tapi dirindukan masyarakatnya. Tradisi dero adalah simbol perdamaian yang dilaksanakan ketika berhasil membangun tempat pertemuan (bantaya/baruga) yang dibangun secara bergotong royong, dero digelar untuk melepaskan kepenatan setelah usai bekerja bahkan berakhir menjelang pagi.
            Tradisi itu berlangsung ratusan tahun  jauh sebelum kedatangan Albert Cristian Kruyt seorang pekerja zending tahun 1892. Pada waktu itu, tradisi animism leluhur suku-suku asli Tanah Poso yang irasional disingkirkan pekerja zending sambil mengajar penduduk untuk rasional. Melihat dero, momen itu dimanfaatkannya untuk memberi pengajaran.

            Kehadiran buku Menggugat Kebudayaan Tadulako dan Dero Poso ini cukup penting ke khalayak publik. Ada dua topik yang dibahas dalam buku ini yakni Kebudayaan Tadulako dan tarian Dero Poso yang kini diharamkan oleh pihak keagamaan dilaksanakan, dan ini juga yang menjadi kelemahan buku karena tidak ada sinergi antara kedua topik tersebut. Betapapun buku ini menjadi penanda kalau di Kota Palu mulai ada kepedulian lebih terhadap gerakan menulis dan literasi. Selain itu, kekurangan buku ini adalah masih belum detail menguak siapa sebenarnya pahlawan megalit yang dituliskan tersebut. Masih datar, tetapi daripada tidak sama sekali. Di samping itu mungkin, karena penulisnya adalah wartawan bukan ahli antrapolog maka tulisan-tulisan hanya berdasarkan opini yang dibangun dan telah mendarah daging sehingga keabsahan mengenai betulkah Tadulako itu pahlawan megalit belum terkuak secara pasti.  

Minggu, 02 Oktober 2011

KATRINE DAN PENJAGA DIAN


SADARKAH kita bahwa perputaran dunia dan intriknya yang dinamis digerakkan oleh paragraf-paragraf pun teks-teks pendek? Perubahan dengan sekejab terjadi atas peran teks-teks atau kalimat pendek. Petitih, aforisme, maxim, puisi, proklamasi, nama baptis, ijazah, manifesto komunis, syahadat, dan sebagainya berhasil merubah sesuatu menjadi berarti. Bahkan ketika kita membaca artikel atau essai sebanyak 3.000 kata, kita hanya mendapati separagraf inti yang hendak disampaikan penulisnya. Selebihnya kutipan-kutipan orang lain atau rujukan buku dan asesoris bahasa agar nyentrik dan terkesan berilmu.
Hal inilah mungkin yang menyebabkan Ernest Hemingway peraih nobel sastra tahun 1954 memilih tulisan yang singkat dan apa adanya sehingga mencitrakan dirinya sebagai penulis minimalisme. Baginya yang terpenting dalam suatu pencapaian sebuah tulisan dalam berkarya adalah pemahaman. Bukan membuat pembaca bertanya karena tulisan terlampau gelap dan sengaja dibuat ruwet oleh penulisnya. Bukan juga vulgar, alih-alih transparan sebab lisensia puitika karya justru akan terabaikan.
Di lingkup itu semua pada tahun ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk disimak bagi dan demi kiprah sastra dan pelakunya di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pertama, kehadiran buku puisi Penjaga Dian karya Satries, terbitan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu. Satries adalah nama palsu Sadruddin Lagaga, barangkali ia terinspirasi oleh Pablo Neruda yang aslinya bernama Ricardo Eliercer Neftali Reyes Basoalto yang juga menerima nobel sastra sekaligus perdamaian Stalin, atau juga supaya terkesan keren ketimbang nama aslinya. Hanya saja Satries tidak istiqomah dalam penentuan struktur dan bentuk puisinya. Ia suka merambah aneka bentuk dan tema dalam eksperimentasi karyanya. Melalui Penjaga Dian yang persis kehaikuan, pendek, dan sarat ia rampungkan himpunan puisinya antara 1973-2006.
Kedua, kedatangan Katrine May Hansen lewat lawatannya yang ia sebut The Heartbound Tour ke Kota Palu pada 30 September yang lalu. Ia adalah seorang guru dan penulis serta penyair asal Denmark. Oleh proyek lovetrustnya yang terbilang sukses di Asia maka sejumlah puisi-puisi pendeknya telah digunakan sebagai silabus di universitas-universitas. Dan ia cukup istiqomah dalam memilih bentuk dan tema. Dengan bermisikan cinta atau yang disebutnya Lovetrust tahun ini ia kunjungi beberapa Negara di Asean; Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri ia singgah di: Wiralodra Universitas Indramayu, UIN Malang, Universitas Muhammadiyah Jember, Kampoeng Baca (Pak Iman Suligi) Jember, Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Airlangga Surabaya, Nombaca (Komunitas Membaca) Palu, Sulawesi Tengah, dan Klub Perempuan Gangga Gili Trawangan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Katrine dan Penjaga Dian secara bentuk dan struktur memilih tampilan pendek dan apik dalam mengemas puisi sehingga terkesan efisien. Hal tersebut terlihat dalam cuplikan puisi berikut:
TEMBANG RINDU

                        adinda, pada malam ini
kumohon alunkan lagi
tembang kesayangan
di ruang penantianku
semoga membawa
kenangan abadi
selamanya
adinda, pada malam ini
kuminta mimpikan daku
dalam tembangmu

(Satries, Penjaga Dian: halaman 38)

            Triwikrama cinta yang melandasi kelahiran puisi ini menerawangkan kita pada episode kehidupan penyairnya lewat romantika dan kedalaman makna. Betapa penulisnya yang kasmaran kepada adinda tersebut, meminta bermimpi melalui tembang-tembang kesayangan. Sungguh di ujung puisinya, Satries menukikkan keindahan bahasa yang ia tohokkan ke hati pembaca, dan mengena. Begitu juga dengan penyair Denmark berikut:

                                IF I GO BLIND 

The naked trees will line with light,
the rainwet pavement glisten,
the carlights expand to lightbulb lightning.

I will not hear my daughters laughter,
no longer feel my sons wet kisses, nor
taste the drunken sweetness of my man.

I will lose sight of life.

Odin, make me a deal,
give me the nine nights,
I'll hang in the tree,
I'll give my eye, and you,
Odin, in return,
restore my sight.
           
Yang dalam bahasa Indonesiannya seperti ini:
                       
BILA AKU BUTA
                         
pohon-pohon berbaris dengan cahaya,
sedang hujan membasahi aspal menjadi licin berkilauan,
hanya lampu mobil biaskan sorot cahaya pijarnya itu.

aku tidak bisa mendengar gelak tawa putriku,
aku tidak bisa merasakan ciuman putraku, bahkan
rasa mabuk kepayang kepada lelakiku.

aku kehilangan penerang jiwa.

Odin, telah berjanji padaku,
memperlihatkan sembilan malam,
lalu aku bergelantungan di atas pohon,
maka akan kuberikan mata ini, dan kau
Odin, datang kembali
mengembalikan penglihatanku.

            Dalam puisinya ini Katrine mengajak pembaca untuk merenung sekaligus bersyukur karena masih memiliki mata sebagai modal utama dalam melihat dan merasa selain hati. Bagaimana Katrine dalam puisi ini, menggambarkan orang yang kehilangan rasa bila menjadi buta sehingga moment yang diraih sepanjang waktu tidak mampu terekam secara sempurna. Selebihnya hanya pasrah dan berdo’a utuk tidak menjadi buta.
            Dari kedua penyair ini, mengingatkan kita kepada Junta Militer Chili, ketika Jendral Pinochet menjarah rumah Pablo Neruda. Ia dengan lapang menyatakan kepada Jendral itu, “Carilah – hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Semoga puisi-puisi bernas bisa lahir lagi di Kota ini bukan malah terhambur oleh debu-debu jalanan atau dibawa angin lepas ke teluk.*

Senin, 25 April 2011

WACANA KITA: AKTIVITAS SASTRA DAN SASTRAWAN

Catatan Dimas Arika Mihardja

Ada dua forum sastra yang akan dihelat di Indonesia sebagai wujud aktivitas sastra dan sastrawan. Kedua forum sastra itu ialah Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Palembang dan Temu Sastrawan Indonesia IV (TSI IV) di Ternate. DAKAH? Ini sebuah pertanyaan yang mengemuka di Grup Temu Sastrawan Indonesia IV dan berbagai kegelisahan yang Dua forum ini tentu saja merupakan representasi dinamika aktivitas sastrawan dengan karya sastranya. Siapa pun yang menjadi panitia atau tuan rumah penyelenggaranya, tentulah memiliki konsep rencana, visi dan misi untuk bertekad kuat menyukseskan agenda acaranya. Kedua forum sastra ini bagaimana pun juga memiliki makna penting sebagai representasi geliat sastrawan Indonesia dan nusantara. Kedua forum sastra ini perlu didukung untuk kesuksesan penyelenggaraannya.

Sekedar menyampaikan informasi secara akurat dan bermaksud memberikan dukungan kepada kedua panitia event sastra ini, terlebih dulu saya akan menghadirkan informasi terkait dengan hajatan sastra itu. Saya mulai dengan mengkopipaste informasi dari panitia Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate seperti berikut ini:

Kepada

Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:

Dengan Hormat,

Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Puisi :

- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com

B. Cerpen :

- tiga (2) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata)

- memakai font times new roman size 12

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com

Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.

Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).

Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ternate 21 Maret 2011

Salam Takzim,

Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4

Ternate 2011

Sofyan Daud Dino Umahuk

Ketua Pelaksana Sekretaris

Kemudian saya tampilkan informasi dari panitia penyelenggara Pertemuan Penyair Nusantara (Anwar Putra Bayu) seperti berikut ini:

Panitia banyak menerima email dan pesan inbox Facebook yang intinya ingin ikut dan berpartisipasi dalam acara PPN V, untuk itu silahkan saja mengirimkan tiga buah puisi dengan tema bebas serta biodata ke dekasumsel@gmail.com, cc:ahmadun.yh@gmail.com, isbedyst@yahoo.com, dan anwarputrabayu@gmail.com. Pengriman karya tersebut selambat-lambatnya kami terima pada 30 April 2011. Puisi-puisi yang nantinya masuk antologi akan diikutsertakan dalam acara dan diberitahu kemudian via email. Selain itu, bagi teman-teman yang sudah menerima surat undangan kami nantikan kiriman puisinya selambatnya tgl. 30 April 2011. Terima kasih atas perhatiannya.

Perlu pula saya tambahkan informasi dari salah seorang Dewan Kurator PPN V (Isbedy Stiawan ZS) terkait hajatan PPN V Palembang sebagai berikut:

Selasa, 29 Maret 2011

SEMINAR INTERNASIONAL PUISI NUSANTARA

Latar Belakang

Pertemuan Penyair Nusantara adalah sebuah even sastra yang diselenggarakan setiap tahun. Tahun 2011 ini merupakan pertemuan ke-5, yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), 17--20 Juli 2011 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

Sebagaimana tradisi pertemuan penyair nusantara sebelumnya, diisi oleh kegiatan baca puisi, peluncuran buku puisi, pameran buku sastra, wisata budaya, dan kegiatan seminar selalu tetap menjadi bagian yang terpenting dalam mata acara PPN. Seminar PPN V di Palembang ini akan melihat pertumbuhan serta perkembangan perpuisian terkini di masing-masing wilayah nusantara.

Perjalanan sastra, khususnya puisi di setiap negara dan bangsa tentunya memiliki problema sendiri-sendiri, yang bersentuhan dengan karya, media, penerbitan, kritik, dan lain-lain yang menyertainya. Keanekaragam persoalan itu menjadi sebuah perbincangan, bahkan perdebatan yang diharapkan menghasilkan jalan keluar yang positif bagi keberlanjutan kehidupan perpuisian di masing-masing wilayah.

Setidaknya, seminar yang menjadi rangkaian kegiatan PPN V ini diharapkan sebagai upaya membuka jalan guna membagikan dan mengapresiasikan ungkapan manusia dari keberagaman budaya, bangsa, etnis, dan ideologi. bangsa atau negara. Selain itu, diharapkan menjadi jembatan persaudaraan dan kebersamaan untuk mengenal lebih dekat tradisi serta sistem sastra setiap bangsa atau negara.

Tujuan

Seminar Internasional ini memiliki tujuan antara lain:

a. Mengkaji dan memerikan kekayaan pemikiran dan wawasan dalam rangka melihat gambaran puisi nusantara mutakhir.

b. Menggali khazanah makna dan nilai yang terkandung di balik puisi nusantara mutakhir guna penguatan karakter dan jati diri bangsa.

c. Membangun jejaring penyair, pemerhati, pengkaji, dan pelestari puisi nusaantara.

Tema

“Potret Puisi Nusantara Mutakhir”

Pokok Bahasan:

a. Estetika dan gaya puisi nusantara mutakhir.

b. Ruh dan ideologi puisi nusantara.

c. Perluasan media puisi, dari media cetak ke media digital.

d. Orientasi, komitmen, dan pengaruh media terhadap pertumbuhan puisi

e. Model pengajaran puisi yang ideal.

f. Menggairahkan kembali tradisi kritik puisi

Pemakalah Utama

Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Abdul Hadi, WM, Dr. Taufik Ismail, Dr. Tarech Rasyid, Drs. Ahmadun Yosi Herfanda, Chavcay Syaifullah (Indonesia), Prof. Muhammad Haji Salleh, Ph.D, Dato Dr. Ahmad Kamal Abdullah (Kemala), Prof. Dr. Mohammad Saleh Rahamad, Rahimidin Zahri, Prof. Irwan Abu bakar (Malaysia), Dr. Razak Pandangmalam, Dr. Nik Abdul Rakib bin Nik Hassan (Thailand), Dr. Zefri Arrif, Suip bin Hj. Abd. Wahab, Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Brunei Darussalam), Dr. Suratman Markasan, Putra Kikir, Djamal Tukimin (Singapura)*

*Tentatif

Pemakalah Pendamping

Selain itu, seminar juga mengajak peserta atau peminat untuk menyajikan makalah sebagai pemakalah pendamping (penunjang) dengan ketentuan bahwa makalah-makalah yang diterima akan disaring dan segera diinformasikan untuk disajikan dalam sidang pleno dan kelompok.

Syarat-Syarat Penerimaan Makalah

a. Makalah ditulis sesuai tema seminar.

b. Abstrak maksimum 200 kata, telah diterima oleh panitia paling lambat 30 April 2011 dikirim kepada Panitia Pertemuan Penyair Nusantara V alamat: dekasumsel@gmail.com

c Abstrak makalah yang diterima diumumkan pada 10 Mei 2011. Makalah lengkap diserahkan dalam bentuk CD/via email paling lambat 30 Mei 2011.

d. Jumlah halaman, termasuk daftar pustaka, maksimum 10 halaman dengan ketikan Times New Roman 12, spasi 1, dengan ukuran kertas A4 .

e. Makalah yang diterima namun tidak dapat disajikan karena keterbatasan waktu akan dimuat dalam prosiding ber ISBN.

Peserta Seminar

Seminar ini terbuka bagi para pecinta sastra baik dari berbagai kalangan: perguruan tinggi, instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, para pendidik, dan lainnya.

Waktu dan Tempat

Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 19 Juli 2011, pukul 08.00 s.d 16.00 di Hotel Swarnadwipa, Jalan. Tasik, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

Biaya Pendaftaran

Peserta seminar dikenakan biaya pendaftaran dengan mendapat fasiliatas seminar kit, sertifikat, kudapan, dan makan siang. Sedangkan biaya transportasi dan penginapan ditanggung sendiri oleh peserta maupun pemakalah penunjang (pendamping). Bagi yang berminat prosiding seminar dapat dipesan melalui panitia seminar dengan mengganti biaya cetak sebesar Rp 100.000,00.

Adapun biaya seminar sebagai berikut:

a. Pemakalah pendamping Rp. 250.000,00. (untuk dalam negeri) dan Rp. 500.000,00. (untuk luar negeri). Biaya sudah termasuk mendapatkan prosiding seminar.

b. Peserta umum Rp. 150.000,00. dan mahasiswa Rp. 100.000,00. (Dengan menunjukan kartu mahasiwa). Biaya pendaftaran tersebut dapat dikirim melalui BANK SUMSEL , dengan No. Rekening: 140-09-27852 atas nama DEWAN KESENIAN SUMATERA SELATAN atau datang langsung ke Sekretariat Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), Komplek Taman Budaya, Jalan Amri Yahya, Seberang Ulu I, Jakabaring, Palembang, telp. (+62) 07117082207. Bukti pembayaran dikirimkan ke alamat sekretariat DKSS via Email dengan alamat: dekasumsel@gmail.com

Penyelenggara

Seminar ini diselenggarakan oleh Panitia Pertemuan Penyair Nusantara V, Dewan Kesenian Sumatera Selatan.

Lain-lain.

Informasi lebih lanjut menghubungi panitia :

SAUDI BERLIAN : +6281373133864

LINNY OKTOVIANNY : +62816381602

RENA KD. : +627117082207

Terkait dengan Temu Sastrawan Indonesia di Ternate, Isbedy Stiawan ZS menyitir pemberitaan Lampung Pos seperti ini:

BANDAR LAMPUNG

KESENIAN: Sastrawan Lampung Ikuti TSI Ternate

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tiga sastrawan asal Lampung Nersalya Renata, Fitri Yani, dan Agit Yogi Subandi diundang mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Maluku Utara, 25—29 Oktober mendatang.

Sekretaris TSI Dino Umahuk menjelaskan ketiga sastrawan Lampung itu bersama 28 sastrawan Tanah Air lainnya dipilih dewan kurator. Selain itu, dewan kurator TSI juga memilih sastrawan Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf.

Kemudian, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto.

"Ke-31 sastrawan ini akan mendapat honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata," ujar Dino.

Sedangkan untuk sastrawan di luar 31 itu, panitia hanya menyediakan penginapan, konsumsi, transportasi lokal, honor tulisan, dan cendera mata.

Menurut Ketua Pelaksana TSI 4, Sofyan Daud, tema yang diusung adalah Sastra Indonesia abad ke-21, keberagaman, silang budaya dan problematika. "Kegiatan TSI 4 meliputi seminar, musyawarah sastrawan, penerbitan antologi sastra, panggung sastra, pameran/bazar/launching buku, lokakarya, dan wisata budaya," kata Sofyan Daud dalam rilis yang diterima Lampung Post, Jumat (8-4).

Sehubungan dengan itu, pihaknya mengundang banyak pihak untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut. Bagi sastrawan yang ingin terlibat dalam kegiatan tersebut, dapat mengirimkan lima puisi bagi penyair. Puisi tersebut ditulis dalam tahun 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, dan kirim ke puisi.tsi4@gmail.com.

Untuk cerpenis, dikirimkan tiga cerpen karya asli yang ditulis pada 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, panjang cerpen berkisar 600 kata, memakai font times new roman ukuran 12, dan di-e-mail ke cerpen.tsi4@gmail.com. (ZUL/D-2)

Lampung Post

Respon masyarakat sastra

Respon masyarakat sastra terhadap dua forum sastra ini beragam. Seorang Khrisna Pabichara, misalnya, merespon pemberitaan di Lampung Pos dan menulis seperti ini:

Pertama, dengan asumsi kabar yang disampaikan Bung Isbedy Stiawan Z.S. tepat adanya, selamat kepada sastrawan Nersalya Renata, Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto yang telah dipilih Dewan Kurator untuk mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Maluku Utara, 25—29 Oktober mendatang dengan fasilitas honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata.

Kedua, apa kriteria yang digunakan Dewan Kurator untuk memilah ke-31 sastrawan tersebut di atas dan memeisahkan mereka dari proses seleksi sebagaimana yang diumumkan oleh Sekretaris Panitia TSI, Dino Umahuk, di Grup FB TSI-4? Apakah mereka sudah mengirimkan karya terlebih dahulu sehingga dipilih lebih cepat dari ambang batas pengiriman karya?

Ketiga, mengapa ke-31 sastrawan tersebut mendapat fasilitas biaya transportasi dari tempat asal ke Ternate (pergi-pulang), sementara yang mengikuti seleksi karya—jika dipilih oleh Dewan Kurator—harus menanggung sendiri biaya transportasinya? Apakah ini salah satu bentuk “keragaman” seperti tema usungan TSI kali ini?

Maaf jika ketiga pertanyaan ini kurang berkenan. Salam takzim.

Respon Khrisna Pabichara itu menyangkut persoalan yang krusial, yakni terkait penetapan peserta, penyeleksian karya, dan fasilitas yang disediakan oleh panitia TSI V. Panitia TSI IV bagaimanapun telah menyusun konsep, baik menyangkut tema, susunan acara, dan penyelenggaraannya. Untuk kesuksesan semua itu, sepengetahuan saya, panitia memandang perlu menerbitkan Surat Keputusan Dewan Kurator. Dewan Kurator inilah yang lalu menjadi lokomotif mematangkan konsep siapa yang diundang sebagai peserta, pembicara, dan berbagai hal lain terkait dengan karya dan kekaryaan. Soal teknis penyelenggaraannya tentulah menjadi otoritas tuan rumah yang membentuk kepanitiaan tersendiri.

Pertanyaan Khrisna Pabichara menyangkut hal yang cukup krusial dan vital, yakni tentang kriteria peserta yang difasilitasi (diundang secara khusus) dan peserta yang difasilitasi secara terbatas (peserta umum), serta kriteria Dewan Kurator menyangkut penetapan peserta dan kriteria karya yang akan dibukukan. Tentu mengenai fasilitas ini bukan menjadi konsumsi semua peserta, melainkan menjadi semacam "privasi" panitia penyelenggara. Soal kriteria penetapan peserta, tentulah hanya Dewan Kurator yang memahaminya. Meski begitu, jika dipandang penting dan untuk menjaga iklim kondusif, peserta (yang diundang atau peserta umum) perlu juga diberi informasi terkait kriteria-kriteria itu.

Dharmadi Penyair di Grup Pertemuan Penyair Nusantara V berpendapat seperti ini:

Ketika kita bicara tt kreativitas,karya seni, dalam hal ini puisi,sesungguhnya tak lagi bicara tua atau muda.itu hanya masalah siapa dulu yg lahir.tak yang tua tak yang muda,pertaruhannya karya.yang merasa sudah senior tapi tak berkarya lagi hanya menggendong kejayaan masa lalunya apa artinya.bagi yang muda,kalau juga baru menulis beberapa puisi kebetulan ada yang bagus,dan dibangga2kan ke mana2 sama saja.karya dan karya cintailah proses,berproseslah dalam waktu.kenapa mesti ingin populer?mari terus belajar,saling menghormati,bertaruhlah dg karya.

Pandangan Dharmadi Penyair ini tentu saja memang menjadi acuan bagi panitia dan dewan kurator baik pada TSI maupun pada PPN. Kedua forum sastra itu tentu saja mengutamakan karya, bukan usia kesastrawanan. Jika kriteria utama menyangkut kesertaan pada dua forum sastra ini bersandar pada kualitas karya, maka kedua even sastra ini tentulah memiliki kontribusi dalam hal dinamika sastra Indonesia. Terkait dengan hal kriteria, seleksi peserta, dan kesuksesan penyelenggaraan oleh panitia, saya sejalan dengan pendapat seorang Tarmizi Rumahhitam yang menyampaikan pandangannya seperti ini:

banyak majelis sastra dan penyair yang dilangsungkan setiap tahun, baik skala nasional, skala lokal, bahkan internbasional. saya jadi penyaksi perdebatan tentang kepesertaan. saya berpikir, siapapun yang menyelenggarakan, mari kita hargai sebagai pengendali penuh aturan main yang dirancang penyelenggara hajatan tsb. sebab panitia yang tentunya khatam dengan kondisi dan keseiapan sebagai taun dan nyonya rumah

Menurut saya, dunia sastra memang penuh dengan dinamika yang terwujud melalui perayaan kata-kata. Kata-kata di dunia sastra memang mewakili siapa yang berkata-kata. Dunia sastra memang menunjukkan beragam suara dan aneka pandangan yang selalu berbeda-beda. Segala pandangan yang bersifat pro dan kontra (jika ada) perlu dijadikan mortir untuk selalu melakukan penyempurnaan penyelenggaraan forum sastra dari masa ke masa. Saya kira, siapa pun panitia penyelenggara forum sastra menghendaki penyempurnaan-penyempurnaan dari pelaksanaan sebelumnya. Ini merupakan itikad yang baik. Kita perlu berusaha memahami "apa maunya" panitia penyelenggara dan berusaha memberikan dukungan.

Dua forum sastra ini (TSI IV dan PPN V) kiranya menuntut panitia (dewan kurator) bekerja ekstra keras untuk menjembatani berbagai kepentingan demi majunya kualitas sastra dan jayanya sastrawan Indonesia. Memang, tidak semua keinginan dapat dilaksanakan, hal yang terpenting ialah panitia (dibantu oleh dewan kurator) dapat memberikan "ruang bermain" atau panggung yang tepat. Siapa berperan sebagai apa, karya mana yang layak diberi tempat, dan agenda apa yang sekiranya perlu dimantapkan. Jagad sastra kian menampakkan dinamika dan gejolak. Dinamika dan gejolak itu harus dipandang sebagai kegairahan dan semangat membangun peradaban melalui dunia kata-kata. Kita tak perlu membenturkan kata-kata antara satu dengan yang lain, jika pun ada perbenturan juga itu merupakan bagian dari dinamika yang mudah-mudahan akan mendewasakan sikap dan perilaku insan-insan sastrawan.

Hidup sastrawan Indonesia!

Jambi, 22 April 2011