Minggu, 02 Oktober 2011

KATRINE DAN PENJAGA DIAN


SADARKAH kita bahwa perputaran dunia dan intriknya yang dinamis digerakkan oleh paragraf-paragraf pun teks-teks pendek? Perubahan dengan sekejab terjadi atas peran teks-teks atau kalimat pendek. Petitih, aforisme, maxim, puisi, proklamasi, nama baptis, ijazah, manifesto komunis, syahadat, dan sebagainya berhasil merubah sesuatu menjadi berarti. Bahkan ketika kita membaca artikel atau essai sebanyak 3.000 kata, kita hanya mendapati separagraf inti yang hendak disampaikan penulisnya. Selebihnya kutipan-kutipan orang lain atau rujukan buku dan asesoris bahasa agar nyentrik dan terkesan berilmu.
Hal inilah mungkin yang menyebabkan Ernest Hemingway peraih nobel sastra tahun 1954 memilih tulisan yang singkat dan apa adanya sehingga mencitrakan dirinya sebagai penulis minimalisme. Baginya yang terpenting dalam suatu pencapaian sebuah tulisan dalam berkarya adalah pemahaman. Bukan membuat pembaca bertanya karena tulisan terlampau gelap dan sengaja dibuat ruwet oleh penulisnya. Bukan juga vulgar, alih-alih transparan sebab lisensia puitika karya justru akan terabaikan.
Di lingkup itu semua pada tahun ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk disimak bagi dan demi kiprah sastra dan pelakunya di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pertama, kehadiran buku puisi Penjaga Dian karya Satries, terbitan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu. Satries adalah nama palsu Sadruddin Lagaga, barangkali ia terinspirasi oleh Pablo Neruda yang aslinya bernama Ricardo Eliercer Neftali Reyes Basoalto yang juga menerima nobel sastra sekaligus perdamaian Stalin, atau juga supaya terkesan keren ketimbang nama aslinya. Hanya saja Satries tidak istiqomah dalam penentuan struktur dan bentuk puisinya. Ia suka merambah aneka bentuk dan tema dalam eksperimentasi karyanya. Melalui Penjaga Dian yang persis kehaikuan, pendek, dan sarat ia rampungkan himpunan puisinya antara 1973-2006.
Kedua, kedatangan Katrine May Hansen lewat lawatannya yang ia sebut The Heartbound Tour ke Kota Palu pada 30 September yang lalu. Ia adalah seorang guru dan penulis serta penyair asal Denmark. Oleh proyek lovetrustnya yang terbilang sukses di Asia maka sejumlah puisi-puisi pendeknya telah digunakan sebagai silabus di universitas-universitas. Dan ia cukup istiqomah dalam memilih bentuk dan tema. Dengan bermisikan cinta atau yang disebutnya Lovetrust tahun ini ia kunjungi beberapa Negara di Asean; Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri ia singgah di: Wiralodra Universitas Indramayu, UIN Malang, Universitas Muhammadiyah Jember, Kampoeng Baca (Pak Iman Suligi) Jember, Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Airlangga Surabaya, Nombaca (Komunitas Membaca) Palu, Sulawesi Tengah, dan Klub Perempuan Gangga Gili Trawangan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Katrine dan Penjaga Dian secara bentuk dan struktur memilih tampilan pendek dan apik dalam mengemas puisi sehingga terkesan efisien. Hal tersebut terlihat dalam cuplikan puisi berikut:
TEMBANG RINDU

                        adinda, pada malam ini
kumohon alunkan lagi
tembang kesayangan
di ruang penantianku
semoga membawa
kenangan abadi
selamanya
adinda, pada malam ini
kuminta mimpikan daku
dalam tembangmu

(Satries, Penjaga Dian: halaman 38)

            Triwikrama cinta yang melandasi kelahiran puisi ini menerawangkan kita pada episode kehidupan penyairnya lewat romantika dan kedalaman makna. Betapa penulisnya yang kasmaran kepada adinda tersebut, meminta bermimpi melalui tembang-tembang kesayangan. Sungguh di ujung puisinya, Satries menukikkan keindahan bahasa yang ia tohokkan ke hati pembaca, dan mengena. Begitu juga dengan penyair Denmark berikut:

                                IF I GO BLIND 

The naked trees will line with light,
the rainwet pavement glisten,
the carlights expand to lightbulb lightning.

I will not hear my daughters laughter,
no longer feel my sons wet kisses, nor
taste the drunken sweetness of my man.

I will lose sight of life.

Odin, make me a deal,
give me the nine nights,
I'll hang in the tree,
I'll give my eye, and you,
Odin, in return,
restore my sight.
           
Yang dalam bahasa Indonesiannya seperti ini:
                       
BILA AKU BUTA
                         
pohon-pohon berbaris dengan cahaya,
sedang hujan membasahi aspal menjadi licin berkilauan,
hanya lampu mobil biaskan sorot cahaya pijarnya itu.

aku tidak bisa mendengar gelak tawa putriku,
aku tidak bisa merasakan ciuman putraku, bahkan
rasa mabuk kepayang kepada lelakiku.

aku kehilangan penerang jiwa.

Odin, telah berjanji padaku,
memperlihatkan sembilan malam,
lalu aku bergelantungan di atas pohon,
maka akan kuberikan mata ini, dan kau
Odin, datang kembali
mengembalikan penglihatanku.

            Dalam puisinya ini Katrine mengajak pembaca untuk merenung sekaligus bersyukur karena masih memiliki mata sebagai modal utama dalam melihat dan merasa selain hati. Bagaimana Katrine dalam puisi ini, menggambarkan orang yang kehilangan rasa bila menjadi buta sehingga moment yang diraih sepanjang waktu tidak mampu terekam secara sempurna. Selebihnya hanya pasrah dan berdo’a utuk tidak menjadi buta.
            Dari kedua penyair ini, mengingatkan kita kepada Junta Militer Chili, ketika Jendral Pinochet menjarah rumah Pablo Neruda. Ia dengan lapang menyatakan kepada Jendral itu, “Carilah – hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Semoga puisi-puisi bernas bisa lahir lagi di Kota ini bukan malah terhambur oleh debu-debu jalanan atau dibawa angin lepas ke teluk.*