SADARKAH kita bahwa perputaran dunia dan
intriknya yang dinamis digerakkan oleh paragraf-paragraf pun teks-teks pendek?
Perubahan dengan sekejab terjadi atas peran teks-teks atau kalimat pendek.
Petitih, aforisme, maxim, puisi, proklamasi, nama baptis, ijazah, manifesto
komunis, syahadat, dan sebagainya berhasil merubah sesuatu menjadi berarti.
Bahkan ketika kita membaca artikel atau essai sebanyak 3.000 kata, kita hanya
mendapati separagraf inti yang hendak disampaikan penulisnya. Selebihnya
kutipan-kutipan orang lain atau rujukan buku dan asesoris bahasa agar nyentrik
dan terkesan berilmu.
Hal
inilah mungkin yang menyebabkan Ernest Hemingway peraih nobel sastra tahun 1954
memilih tulisan yang singkat dan apa adanya sehingga mencitrakan dirinya
sebagai penulis minimalisme. Baginya yang terpenting dalam suatu pencapaian
sebuah tulisan dalam berkarya adalah pemahaman. Bukan membuat pembaca bertanya karena tulisan
terlampau gelap dan sengaja dibuat ruwet oleh penulisnya. Bukan juga vulgar,
alih-alih transparan sebab lisensia puitika karya justru akan terabaikan.
Di
lingkup itu semua pada tahun ini setidaknya ada dua hal yang menarik untuk
disimak bagi dan demi kiprah sastra dan pelakunya di Kota Palu, Sulawesi
Tengah. Pertama, kehadiran buku puisi Penjaga Dian karya Satries, terbitan
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu. Satries adalah nama palsu Sadruddin
Lagaga, barangkali ia terinspirasi oleh Pablo Neruda yang aslinya bernama Ricardo Eliercer Neftali
Reyes Basoalto yang juga menerima nobel sastra sekaligus perdamaian Stalin,
atau juga supaya terkesan keren ketimbang nama aslinya. Hanya saja Satries
tidak istiqomah dalam penentuan struktur dan bentuk puisinya. Ia suka merambah
aneka bentuk dan tema dalam eksperimentasi karyanya. Melalui Penjaga Dian yang
persis kehaikuan, pendek, dan sarat ia rampungkan himpunan puisinya antara
1973-2006.
Kedua, kedatangan Katrine May Hansen lewat
lawatannya yang ia sebut The Heartbound Tour ke Kota Palu pada 30 September
yang lalu. Ia adalah seorang guru dan penulis serta penyair asal Denmark. Oleh
proyek lovetrustnya yang terbilang sukses di Asia maka sejumlah puisi-puisi
pendeknya telah digunakan sebagai silabus di universitas-universitas. Dan ia
cukup istiqomah dalam memilih bentuk dan tema. Dengan bermisikan cinta atau
yang disebutnya Lovetrust tahun ini ia kunjungi beberapa Negara di Asean;
Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri ia singgah di: Wiralodra Universitas
Indramayu, UIN Malang, Universitas Muhammadiyah Jember, Kampoeng Baca (Pak Iman
Suligi) Jember, Universitas Muhammadiyah Gresik, Universitas Airlangga
Surabaya, Nombaca (Komunitas Membaca) Palu, Sulawesi Tengah, dan Klub Perempuan
Gangga Gili Trawangan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Katrine
dan Penjaga Dian secara bentuk dan struktur memilih tampilan pendek dan apik
dalam mengemas puisi sehingga terkesan efisien. Hal tersebut terlihat dalam
cuplikan puisi berikut:
TEMBANG RINDU
adinda, pada malam ini
kumohon alunkan
lagi
tembang
kesayangan
di ruang penantianku
semoga membawa
kenangan abadi
selamanya
adinda, pada
malam ini
kuminta mimpikan
daku
dalam tembangmu
(Satries, Penjaga Dian: halaman 38)
Triwikrama cinta yang melandasi
kelahiran puisi ini menerawangkan kita pada episode kehidupan penyairnya lewat
romantika dan kedalaman makna. Betapa penulisnya yang kasmaran kepada adinda
tersebut, meminta bermimpi melalui tembang-tembang kesayangan. Sungguh di ujung
puisinya, Satries menukikkan keindahan bahasa yang ia tohokkan ke hati pembaca,
dan mengena. Begitu juga dengan penyair Denmark berikut:
IF I GO BLIND
The naked trees will line with
light,
the rainwet pavement glisten,
the carlights expand to lightbulb lightning.
I will not hear my daughters laughter,
no longer feel my sons wet kisses, nor
taste the drunken sweetness of my man.
I will lose sight of life.
Odin, make me a deal,
give me the nine nights,
I'll hang in the tree,
I'll give my eye, and you,
Odin, in return,
restore my sight.
the rainwet pavement glisten,
the carlights expand to lightbulb lightning.
I will not hear my daughters laughter,
no longer feel my sons wet kisses, nor
taste the drunken sweetness of my man.
I will lose sight of life.
Odin, make me a deal,
give me the nine nights,
I'll hang in the tree,
I'll give my eye, and you,
Odin, in return,
restore my sight.
Yang
dalam bahasa Indonesiannya seperti ini:
BILA
AKU BUTA
pohon-pohon berbaris dengan cahaya,
sedang hujan membasahi aspal menjadi licin berkilauan,
hanya lampu mobil biaskan sorot cahaya pijarnya itu.
aku tidak bisa mendengar gelak tawa putriku,
aku tidak bisa merasakan ciuman putraku, bahkan
rasa mabuk kepayang kepada lelakiku.
aku kehilangan penerang jiwa.
Odin, telah berjanji padaku,
memperlihatkan sembilan malam,
lalu aku bergelantungan di atas pohon,
maka akan kuberikan mata ini, dan kau
Odin, datang kembali
mengembalikan penglihatanku.
sedang hujan membasahi aspal menjadi licin berkilauan,
hanya lampu mobil biaskan sorot cahaya pijarnya itu.
aku tidak bisa mendengar gelak tawa putriku,
aku tidak bisa merasakan ciuman putraku, bahkan
rasa mabuk kepayang kepada lelakiku.
aku kehilangan penerang jiwa.
Odin, telah berjanji padaku,
memperlihatkan sembilan malam,
lalu aku bergelantungan di atas pohon,
maka akan kuberikan mata ini, dan kau
Odin, datang kembali
mengembalikan penglihatanku.
Dalam puisinya ini Katrine mengajak
pembaca untuk merenung sekaligus bersyukur karena masih memiliki mata sebagai
modal utama dalam melihat dan merasa selain hati. Bagaimana Katrine dalam puisi
ini, menggambarkan orang yang kehilangan rasa bila menjadi buta sehingga moment
yang diraih sepanjang waktu tidak mampu terekam secara sempurna. Selebihnya
hanya pasrah dan berdo’a utuk tidak menjadi buta.
Dari kedua penyair ini, mengingatkan
kita kepada Junta Militer Chili, ketika Jendral Pinochet menjarah rumah Pablo
Neruda. Ia dengan lapang menyatakan kepada Jendral itu, “Carilah – hanya ada
satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini – puisi.” Semoga puisi-puisi bernas bisa lahir lagi di Kota ini bukan malah
terhambur oleh debu-debu jalanan atau dibawa angin lepas ke teluk.*