Sabtu, 12 November 2011

Membebat Mitologi Pahlawan Megalit


DATA BUKU
Judul               : Menggugat Kebudayaan Tadulako & Dero Poso
Penulis             : Jamrin Abubakar
Penerbit           : Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah
Cetakan           : I, April 2011
Tebal               : 112 halaman
ISBN               : 978-602-96792-1-2


TIDAK banyak orang tahu situs-situs megalitikum di nusantara, apalagi yang letaknya di timur Indonesia tepatnya di Desa Doda, Dataran Tinggi Behoa Kabupaten Poso Sulawesi Tengah ini. Bahkan Wiyono Yudoseputro, seorang ahli seni rupa purba menyatakan bahwa salah satu patokan masa Megalitikum  tertua di Indonesia adalah peninggalan benda temuan yang terdapat di Lembah Bada Sulawesi Tengah. Struktur batunya masih kelihatan jelas dengan garis pahatan yang sederhana dan kasar. Bila dibandingkan dengan peninggalan Megalitik di Sumatera yang lebih maju, dilihat dari pahatan yang lebih halus dan bentuknya lebih dinamis.
            Dari sekian banyak hasil peninggalan masa Megalitik ada sebuah patung peninggalan purba yang menunjukkan patung manusia tegak lurus dengan langit, tingginya 2 meter. Patung itu memiliki energi secara kultural dan filosofi bagi etnis Kaili, Kulavi, Napu, Behoa, Bada, Mori dan Pamona di Sulawesi Tengah. Secara arkeologi dan antropologi dari peninggalan Megalitik tersebut menjadikan penelusuran awal untuk memahami asal-usul istilah Tadulako yang menjadi legenda. Bagi masyarakat, Tadulako melambangkan pemimpin perang yang penuh kharisma, ksatria, perkasa, adil, dan bijaksana.  Di sekitar patung Tadulako terdapat dua buah Kalamba yang berukuran besar, satu terbuka dan satunya tertutup.
            Kalamba yang terbuka berisi air hujan, sedang yang tertutup tidak diketahui isi dalamnya karena materi batu yang sangat berat hingga tidak pernah dibuka. Sehingga semakin menambah misteri apa yang terdapat di dalamnya, kecuali beberapa kalamba tanpa penutup di ekitar Lembah Behoa sudah diketahui, diantaranya berupa tulang-tulang manusia yang pada tahun 2000 tulang-tulang tersebut di bawa ke Jakarta oleh tim peneliti kepurbakalaan.

Ekspedisi Tadulako

            Sulitnya menguak tabir Megalitik di Lembah Besoa disebabkan oleh medan perbukitan yang terjal. Hingga penulis dan sejumlah rekannya melaksanakan Ekspedisi Tadulako yang ditempuh dengan berjalan kaki sejauh 157 km. Di area tersebut, belum ada angkutan atau kendaraan yang mampu melewatinya, mengingat lokasi yang ekstrem. 
            Inilah awal kesaksian penulis, pembuktian dari era Megalitikum sampai generasinya berpindah ke zaman migrasi dan zaman sejarah, dimana terdapat dua paduan klasik dan saverigading.
            Tadulako adalah ksatria yang jasa-jasanya menyatukan suku-suku yang dulunya bertikai kini menjalin kekerabatan. Oleh masyarakat Behoa dibuatlah Patung Megalit Tadulako di bukit Bulili, Desa Doda Kecamatan Lore Tengah.

Legenda Tadulako

            Tadulako adalah gelar yang diberikan kepada pemimpin karena keberanian dan kepahlawanan membela tanahnya.
Alkisah, di Desa Doda Lembah Behoa hidup suami istri yang cukup lama belum dianugrahi anak, dengan doa dan takdir cinta mereka dikaruniai seorang putra. Mereka memberinya nama Lengkatuwo. Lengka artinya purnama dan tuwo artinya hidup. Bila dipadankan dua kata tersebut bermakna hidup sempurna. Lengkatuwo ini adalah nama lain dari Tadulako.
            Waktu demi aktu berlalu Tadulako beranjak dewasa berbagai ilmu kanuragan, beladiri, menombak dan memanah ia kuasai dengan detil. Keahliannya itu cepat tersebar ke berbagai kampung. Suatu waktu, ia diundang untuk membantu suku Bada menghadapi serangan orang-orang Waebonta di wilayah Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebelum berangkat ke medan perang, ibunya berpesan bila selesai tugas cepat pulang, sebab tunangannya sudah menunggu di tanah kelahiran.
            Tadulako melawan musuhnnya diakhiri dengan kemenangan demi kemenangan. Bahkan perdamaianpun terjalin, sehingga orang Bada merasa berhutang budi padanya. Ia diminta untuk menikahi putri raja yang jelita dan menetap di Bada. Dilema terjadi dalam diri Tadulako. Namun ia putuskan untuk menerima pinangan itu.
            Suatu hari tadulako bersama istrinya yang hamil pulang ke Behoa. Kedatangannya dijemput dengan upacara kebesaran sebagai ksatria perang, meski demikian orangtuanya kecewa terlebih sang kekasih yang sudah lama menunggu. Beberapa waktu kemudian, Tadulako bertandang ke rumah kekasih lama yang saat itu sedang asik menumbuk padi dengan lesung. Tiba-tiba saja, kekasih yang murka menghujamkan alu ke kepala Tadulako. Tak ayal, Tadulako yang terkenal sakti tersungkur ke tanah. Pendudukpun gempar, ahli perang yang tak mudah ditaklukan musuh-musuhnya tewas di tangan seorang wanita.

Kontraversi Kebudayaan Tadulako

            Kesaksian penulis diawali ketika sebuah ide pembentukan kesatuan suku bangsa Tadulako yang digulirkan oleh  Rusdy Toana, seorang tokoh di Sulawesi Tengah. Kontraversipun terjadi karena budaya itu bukan persoalan revolusi melainkan evolusi, seorang budayawan Masyudin Masyuda menganggap kebudayaan Tadulako ini sama saja dengan menyaingi Bhineka Tunggal Ika.
            Budaya Kaili memang sangat menarik sebab sistem demokratisasi dalam tatanan adatnya yang aneh sekali. Sayangnya di tanah Kaili belum ada ilmu seperti; Javalogi, Sundalogi, Lagaligologi, atau semacam cagar budaya. Sehingga reaktualisasi kebudayaan Sulawesi Tengah perlu diciptakan, sama dengan halnya Indonesia yang juga diciptakan bukan terbentuk dengan sendirinya.
            Polemik dialek dan bahasapun juga diungkap dalam buku ini, khususnya etnis dan subetnis yang menggunakan istilah Tadulako. Di daerah Luwuk Banggai, Tomini, Tolitoli an Bungku belum ditemukan. Sehingga kata ini dirasa mendominasi daerah-daerah tersebut apabila dipaksakan, seperti halnya Toriaja atau Toraja masuk ke tanah Kaili dan Pamona oleh DR. Kruyt tahun 1897 dalam bukunya Van Poso naar Parigi, Sigi in Lindoe.
            Mengingat bahasa itu adalah domisili bukan dominasi, Kebudayaan Tadulako menjadi prahara di masanya. Sebab tidak seluruh etnis Sulawesi Tengah mengenal baik istilah Tadulako dalam dialek bahasanya. Keinginan kuat untuk membentuk Kebudayaan Tadulako dinilai tak akan menandingi Bhineka Tunggal Ika, ini istilah perekat yang dipakai untuk menyatukan etnis. Mengingat Sulawesi Tengah memiliki sangat banyak etnis asli seperti etnis; Kaili, Kulavi, Napu, Behoa, Bada, Mori, dan Pamonai. Tidak seperti di Jawa hanya etnis Jawa, di Jawa Barat ada etnis Sunda, dan lain-lain. Selain itu keinginan adanya lingua franca di Sulawesi Tengah yang juga masih diambang perselisihan. 

Dero dibenci

            Sejak kesepakatan Deklarasi Malino untuk perdamaian Poso, dero masih dibenci tapi dirindukan masyarakatnya. Tradisi dero adalah simbol perdamaian yang dilaksanakan ketika berhasil membangun tempat pertemuan (bantaya/baruga) yang dibangun secara bergotong royong, dero digelar untuk melepaskan kepenatan setelah usai bekerja bahkan berakhir menjelang pagi.
            Tradisi itu berlangsung ratusan tahun  jauh sebelum kedatangan Albert Cristian Kruyt seorang pekerja zending tahun 1892. Pada waktu itu, tradisi animism leluhur suku-suku asli Tanah Poso yang irasional disingkirkan pekerja zending sambil mengajar penduduk untuk rasional. Melihat dero, momen itu dimanfaatkannya untuk memberi pengajaran.

            Kehadiran buku Menggugat Kebudayaan Tadulako dan Dero Poso ini cukup penting ke khalayak publik. Ada dua topik yang dibahas dalam buku ini yakni Kebudayaan Tadulako dan tarian Dero Poso yang kini diharamkan oleh pihak keagamaan dilaksanakan, dan ini juga yang menjadi kelemahan buku karena tidak ada sinergi antara kedua topik tersebut. Betapapun buku ini menjadi penanda kalau di Kota Palu mulai ada kepedulian lebih terhadap gerakan menulis dan literasi. Selain itu, kekurangan buku ini adalah masih belum detail menguak siapa sebenarnya pahlawan megalit yang dituliskan tersebut. Masih datar, tetapi daripada tidak sama sekali. Di samping itu mungkin, karena penulisnya adalah wartawan bukan ahli antrapolog maka tulisan-tulisan hanya berdasarkan opini yang dibangun dan telah mendarah daging sehingga keabsahan mengenai betulkah Tadulako itu pahlawan megalit belum terkuak secara pasti.