Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.
Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.
Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.
Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.
Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar