: Hudan Nur)*
“Budi Palopo dapat hadiah seni dari gubernur. Tahun depan aku njagoin Lan Fang. Tahun depannya lagi Tjahjono Widianto terus A. Muttaqin, S. Yoga ==> lha kok klik DKJT semua ya? Politiknya kayak TUK ya… atau sama juga DKL. Wah politicking jadi virus juga di seni. Bencana nih!” (sms seorang teman)
NAMPAKNYA keberlangsungan sejarah sastra memang harus bertengkar dan berludah-ludah. Tidak hanya menyuarakan ketertindasan sosial tetapi juga bertengkar dengan koleganya. Sehingga penyasastra yang idealnya soliter cenderung berklik. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang layak mendapatkan Ramon Magsasay bahkan Nobel dijegal karena dendam lama Taufik Ismail kala Pram berkuasa. Pun halnya Pablo Neruda di tahun 1964 saat ia menjadi petinggi Chile, ia tidak mendapat Nobel. Saat itu, Sartre sendiri mengakui Neruda-lah yang layak mendapatkan Nobel tetapi karena ada campur tangan CIA, Nobel diberikan kepada Sartre dan ia menolaknya.
Sejarah sastra memang identik dengan pertengkaran dalam arti sempit. Gabriel Garcia Marquez pernah ditonjok Mario Vargas Llosa, begitupun Chairil Anwar juga pernah ditonjok HB. Jassin. Kini pertengkaran diwarisi dengan sistem perkubuan atau istilah berklik. Sebut saja, klik Salihara atau klik TUK atau klik KSI dan lain-lain. Bahkan penghadiahan bidang seni, budaya, atau sastra berdasarkan sistem kolega dan berklik.
Ironisnya karya tidak lagi dinilai dari segi kualitas tetapi faktor-faktor lain yang bersifat kepentingan tertentu dan acapkali berhubungan dengan kekerabatan. Tentu hal ini tidak fear! Ada banyak sesi penghadiahan yang diberikan oleh petinggi daerah, SKPD tertentu yang menjadi kontroversi karena dinilai tertutup dalam menentukan si penerima anugrah atau hadiah. Sebut saja Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan dengan Anugrah Budayanya yang dinilai bagi sebagian kalangan hal ini ganjil. Idealnya sebuah hadiah diberikan dengan kriteria tertentu dan sistem penjurian oleh pihak yang kompeten. Sejauh ini, pihak panitia tidak pernah mengekspose dan terkesan tertutup.
Selama ini, hadiah seni (sastra) yang diberikan oleh gubernur juga tidak ditahu secara luas siapa-siapa yang menilai pun kriteria penilaian yang bagaimana hingga seorang mendapat hadiah sastra, sebab sastra bukan semata teks (aksi) tetapi juga gerakan (reaksi) sehingga bila ada kekeliruan di suatu waktu bisa dikoreksi. Sebagai contoh, seorang sastrawan asal Hulu Sungai Selatan, Aliman Syahrani (AS) yang pernah mendapatkan hadiah sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Dan beberapa waktu terakhir mendapat koreksi atas karya-karyanya yang disinyalir memflagiat karya orang lain.
Dalam beberapa pertemuan rekan-rekan sejawat yang tidak disengaja, perbincangan menyoal keaslian karya dan sejumlah bukti-bukti selalu mengarah ke AS. Terakhir puisinya yang termasuk dalam Antologi Sastra Kalimantan Selatan di Tabalong tahun 2010 yang berjudul Pasar Terapung juga disebut-sebut memiliki persamaan dengan orang terdahulunya. Terlebih disebut-sebut, wajar saja kontroversi flagiator Noor Hidayah bisa menang wong jurinya juga seorang flagiat! Sangat memprihatinkan, bukan?
Sebagai contoh; “Setelah melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (30/1) dinyatakan dicabut dan tidak pernah dimuat dengan berbagai alasan. Redaksi (dimuat Kompas Minggu 6 Februari 2011 hal.20).” Info Abdul Malik Mojokerto.
Barangkali hal beginilah yang seharusnya ditiru dalam khasanah penghadiahan seni (sastra) dan event sastra agar penulisnya tidak berulah lagi. Lalu bagaimana dengan AS yang terlanjur mendapat hadiah sastra namun belakangan disinyalir karyanya flagiat? Mungkin, kalau permulaan masih bisa ditorerir bagi sebagian kalangan, tetapi AS hingga 2010 memasukkan puisi Pasar Terapungnya dalam Antologi Aruh Sastra dan menjadi pergunjingan berbagai pihak.
Selain itu kontroversi serupa juga terjadi ketika Balai Bahasa Banjarmasin (BBB) yang setiap dua tahun sekali mengumumkan nama-nama yang mendapat award. Bagi sejumlah orang perorang kenapa tidak A, Kenapa harus B yang dapat? Kriterianya apa? Yang menilai siapa? Sebagian kalangan beranggapan masih ada yang lebih tepat untuk menerimanya jadi kenapa harus B, kenapa tidak A? Ada seorang tua berkata, bila ingin mendapat award serupa kita harus pro dan jangan pernah mengkritisi dalam bentuk apapun karena misi BBB hanya memberikan apresiasi terhadap orang yang berkiprah di dunianya, tanpa misi politik apapun. Dan sudah tentu adalah mereka yang sudah dikenal (dekat) berklik oleh BBB.
Begitu pula dengan Radar Banjarmasin Award (RBA) yang pertama kali digelar dipenghujung tahun 2010 yang lalu di kawasan Minggu Raya Banjarbaru, kenapa yang dapat adalah Sainul Hermawan dan Kayla Untara. Malahan seorang teman menyatakan “Wah bila Sainul saya sepakat, tetapi untuk Kayla saya belum punya referensi!” Isu yang beredar karena keduanya sering mengirimkan tulisan ke Radar Minggu. Hingga pada malam penganugrahan yang semestinya dihadiri ratusan simpatisan yang datang hanya sebagian kecil, itupun mereka yang berdomisili di Banjarbaru, yang lainnya tidak datang dengan alasan tidak tahu dan sebagian lagi berkonfrontasi (klik).
Padahal diluar kecenderungan like dan dislike ataupun klik di Kalimantan Selatan yang apriori, RBA (mungkin) ingin membangkitkan kelesuan sastra Koran bagi penulis lokal yang semakin ke depan semakin jarang mengekspose tulisannya. Tetapi, setelah ajang RBA itu, tidak terlihat ada implikasi positif dalam bentuk nominal apresiasi ke setiap penulis medianya begitu juga dengan halaman rubriknya yang tidak bertambah. Atau penulisnya yang sedikit hingga sampai sekarang rubriknya hanya satu halaman?
Euforia hadiah seni (sastra) di sejumlah penganugrahan hanya menjadi gondok dan pertanyaan bisu. Tidak ada penilaian secara kualitas yang digunakan dalam menilai, hanya pertanda bahwa eksistensinya dinilai ada. Selebihnya faktor kedekatan, kenal, dan klik. Itu saja!***
)*Koordinator Divisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Hak-hak Budaya dan Sastra, Yayasan Tadulakota’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar