Senin, 25 April 2011

WACANA KITA: AKTIVITAS SASTRA DAN SASTRAWAN

Catatan Dimas Arika Mihardja

Ada dua forum sastra yang akan dihelat di Indonesia sebagai wujud aktivitas sastra dan sastrawan. Kedua forum sastra itu ialah Pertemuan Penyair Nusantara V (PPN V) di Palembang dan Temu Sastrawan Indonesia IV (TSI IV) di Ternate. DAKAH? Ini sebuah pertanyaan yang mengemuka di Grup Temu Sastrawan Indonesia IV dan berbagai kegelisahan yang Dua forum ini tentu saja merupakan representasi dinamika aktivitas sastrawan dengan karya sastranya. Siapa pun yang menjadi panitia atau tuan rumah penyelenggaranya, tentulah memiliki konsep rencana, visi dan misi untuk bertekad kuat menyukseskan agenda acaranya. Kedua forum sastra ini bagaimana pun juga memiliki makna penting sebagai representasi geliat sastrawan Indonesia dan nusantara. Kedua forum sastra ini perlu didukung untuk kesuksesan penyelenggaraannya.

Sekedar menyampaikan informasi secara akurat dan bermaksud memberikan dukungan kepada kedua panitia event sastra ini, terlebih dulu saya akan menghadirkan informasi terkait dengan hajatan sastra itu. Saya mulai dengan mengkopipaste informasi dari panitia Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate seperti berikut ini:

Kepada

Yth. Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara:

Dengan Hormat,

Kami beritahukan bahwa Temu Sastrawan Indonesia-4 akan dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara, pada 25-29 Oktober 2011. TSI-4 bertema “Sastra Indonesia Abad ke 21, Keragaman, Silang Budaya dan Problematika”. Adapun kegiatan TSI-4 ini meliputi Seminar, Musyawarah Sastrawan, Penerbitan Antologi Sastra, Panggung Sastra, Pameran/Bazar/Launching Buku, Workshop dan Wisata Budaya.

Sehubungan dengan itu, kami mengundang Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut:

A. Puisi :

- lima (5) buah puisi karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : puisi.tsi4@gmail.com

B. Cerpen :

- tiga (2) buah cerpen karya asli yang ditulis dalam tahun 2011

- belum dipublikasikan ke media mana pun

- panjang cerpen berkisar 5 halaman sampai 10 halaman kwarto (600 Kata)

- memakai font times new roman size 12

- Biodata maksimal 10 baris

- diemailkan ke : cerpen.tsi4@gmail.com

Pengiriman karya dapat dilakukan sejak: 23 Maret 2011 – 23 Juli 2011. Bagi sastrawan yang karyanya lolos seleksi Dewan Kurator TSI-4, akan mendapat undangan resmi dari panitia TSI-4 dan honorarium tulisan.

Panitia akan menyediakan penginapan (akomodasi), makan-minum (kosumsi) dan transport lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah dan cinderamata. Mengingat keterbatasan dana, maka kami mohon maaf tidak bisa menyediakan biaya transportasi peserta undangan dari tempat asal ke tempat tujuan (pp).

Atas perhatian, kerja sama dan partisipasi Bapak/Ibu/Tuan/Puan/Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Ternate 21 Maret 2011

Salam Takzim,

Panitia Temu Sastrawan Indonesia 4

Ternate 2011

Sofyan Daud Dino Umahuk

Ketua Pelaksana Sekretaris

Kemudian saya tampilkan informasi dari panitia penyelenggara Pertemuan Penyair Nusantara (Anwar Putra Bayu) seperti berikut ini:

Panitia banyak menerima email dan pesan inbox Facebook yang intinya ingin ikut dan berpartisipasi dalam acara PPN V, untuk itu silahkan saja mengirimkan tiga buah puisi dengan tema bebas serta biodata ke dekasumsel@gmail.com, cc:ahmadun.yh@gmail.com, isbedyst@yahoo.com, dan anwarputrabayu@gmail.com. Pengriman karya tersebut selambat-lambatnya kami terima pada 30 April 2011. Puisi-puisi yang nantinya masuk antologi akan diikutsertakan dalam acara dan diberitahu kemudian via email. Selain itu, bagi teman-teman yang sudah menerima surat undangan kami nantikan kiriman puisinya selambatnya tgl. 30 April 2011. Terima kasih atas perhatiannya.

Perlu pula saya tambahkan informasi dari salah seorang Dewan Kurator PPN V (Isbedy Stiawan ZS) terkait hajatan PPN V Palembang sebagai berikut:

Selasa, 29 Maret 2011

SEMINAR INTERNASIONAL PUISI NUSANTARA

Latar Belakang

Pertemuan Penyair Nusantara adalah sebuah even sastra yang diselenggarakan setiap tahun. Tahun 2011 ini merupakan pertemuan ke-5, yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), 17--20 Juli 2011 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

Sebagaimana tradisi pertemuan penyair nusantara sebelumnya, diisi oleh kegiatan baca puisi, peluncuran buku puisi, pameran buku sastra, wisata budaya, dan kegiatan seminar selalu tetap menjadi bagian yang terpenting dalam mata acara PPN. Seminar PPN V di Palembang ini akan melihat pertumbuhan serta perkembangan perpuisian terkini di masing-masing wilayah nusantara.

Perjalanan sastra, khususnya puisi di setiap negara dan bangsa tentunya memiliki problema sendiri-sendiri, yang bersentuhan dengan karya, media, penerbitan, kritik, dan lain-lain yang menyertainya. Keanekaragam persoalan itu menjadi sebuah perbincangan, bahkan perdebatan yang diharapkan menghasilkan jalan keluar yang positif bagi keberlanjutan kehidupan perpuisian di masing-masing wilayah.

Setidaknya, seminar yang menjadi rangkaian kegiatan PPN V ini diharapkan sebagai upaya membuka jalan guna membagikan dan mengapresiasikan ungkapan manusia dari keberagaman budaya, bangsa, etnis, dan ideologi. bangsa atau negara. Selain itu, diharapkan menjadi jembatan persaudaraan dan kebersamaan untuk mengenal lebih dekat tradisi serta sistem sastra setiap bangsa atau negara.

Tujuan

Seminar Internasional ini memiliki tujuan antara lain:

a. Mengkaji dan memerikan kekayaan pemikiran dan wawasan dalam rangka melihat gambaran puisi nusantara mutakhir.

b. Menggali khazanah makna dan nilai yang terkandung di balik puisi nusantara mutakhir guna penguatan karakter dan jati diri bangsa.

c. Membangun jejaring penyair, pemerhati, pengkaji, dan pelestari puisi nusaantara.

Tema

“Potret Puisi Nusantara Mutakhir”

Pokok Bahasan:

a. Estetika dan gaya puisi nusantara mutakhir.

b. Ruh dan ideologi puisi nusantara.

c. Perluasan media puisi, dari media cetak ke media digital.

d. Orientasi, komitmen, dan pengaruh media terhadap pertumbuhan puisi

e. Model pengajaran puisi yang ideal.

f. Menggairahkan kembali tradisi kritik puisi

Pemakalah Utama

Prof. Dr. Budi Darma, Prof. Dr. Abdul Hadi, WM, Dr. Taufik Ismail, Dr. Tarech Rasyid, Drs. Ahmadun Yosi Herfanda, Chavcay Syaifullah (Indonesia), Prof. Muhammad Haji Salleh, Ph.D, Dato Dr. Ahmad Kamal Abdullah (Kemala), Prof. Dr. Mohammad Saleh Rahamad, Rahimidin Zahri, Prof. Irwan Abu bakar (Malaysia), Dr. Razak Pandangmalam, Dr. Nik Abdul Rakib bin Nik Hassan (Thailand), Dr. Zefri Arrif, Suip bin Hj. Abd. Wahab, Mohd. Shahrin bin Haji Metussin (Brunei Darussalam), Dr. Suratman Markasan, Putra Kikir, Djamal Tukimin (Singapura)*

*Tentatif

Pemakalah Pendamping

Selain itu, seminar juga mengajak peserta atau peminat untuk menyajikan makalah sebagai pemakalah pendamping (penunjang) dengan ketentuan bahwa makalah-makalah yang diterima akan disaring dan segera diinformasikan untuk disajikan dalam sidang pleno dan kelompok.

Syarat-Syarat Penerimaan Makalah

a. Makalah ditulis sesuai tema seminar.

b. Abstrak maksimum 200 kata, telah diterima oleh panitia paling lambat 30 April 2011 dikirim kepada Panitia Pertemuan Penyair Nusantara V alamat: dekasumsel@gmail.com

c Abstrak makalah yang diterima diumumkan pada 10 Mei 2011. Makalah lengkap diserahkan dalam bentuk CD/via email paling lambat 30 Mei 2011.

d. Jumlah halaman, termasuk daftar pustaka, maksimum 10 halaman dengan ketikan Times New Roman 12, spasi 1, dengan ukuran kertas A4 .

e. Makalah yang diterima namun tidak dapat disajikan karena keterbatasan waktu akan dimuat dalam prosiding ber ISBN.

Peserta Seminar

Seminar ini terbuka bagi para pecinta sastra baik dari berbagai kalangan: perguruan tinggi, instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, para pendidik, dan lainnya.

Waktu dan Tempat

Seminar ini diselenggarakan pada tanggal 19 Juli 2011, pukul 08.00 s.d 16.00 di Hotel Swarnadwipa, Jalan. Tasik, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

Biaya Pendaftaran

Peserta seminar dikenakan biaya pendaftaran dengan mendapat fasiliatas seminar kit, sertifikat, kudapan, dan makan siang. Sedangkan biaya transportasi dan penginapan ditanggung sendiri oleh peserta maupun pemakalah penunjang (pendamping). Bagi yang berminat prosiding seminar dapat dipesan melalui panitia seminar dengan mengganti biaya cetak sebesar Rp 100.000,00.

Adapun biaya seminar sebagai berikut:

a. Pemakalah pendamping Rp. 250.000,00. (untuk dalam negeri) dan Rp. 500.000,00. (untuk luar negeri). Biaya sudah termasuk mendapatkan prosiding seminar.

b. Peserta umum Rp. 150.000,00. dan mahasiswa Rp. 100.000,00. (Dengan menunjukan kartu mahasiwa). Biaya pendaftaran tersebut dapat dikirim melalui BANK SUMSEL , dengan No. Rekening: 140-09-27852 atas nama DEWAN KESENIAN SUMATERA SELATAN atau datang langsung ke Sekretariat Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), Komplek Taman Budaya, Jalan Amri Yahya, Seberang Ulu I, Jakabaring, Palembang, telp. (+62) 07117082207. Bukti pembayaran dikirimkan ke alamat sekretariat DKSS via Email dengan alamat: dekasumsel@gmail.com

Penyelenggara

Seminar ini diselenggarakan oleh Panitia Pertemuan Penyair Nusantara V, Dewan Kesenian Sumatera Selatan.

Lain-lain.

Informasi lebih lanjut menghubungi panitia :

SAUDI BERLIAN : +6281373133864

LINNY OKTOVIANNY : +62816381602

RENA KD. : +627117082207

Terkait dengan Temu Sastrawan Indonesia di Ternate, Isbedy Stiawan ZS menyitir pemberitaan Lampung Pos seperti ini:

BANDAR LAMPUNG

KESENIAN: Sastrawan Lampung Ikuti TSI Ternate

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Tiga sastrawan asal Lampung Nersalya Renata, Fitri Yani, dan Agit Yogi Subandi diundang mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Maluku Utara, 25—29 Oktober mendatang.

Sekretaris TSI Dino Umahuk menjelaskan ketiga sastrawan Lampung itu bersama 28 sastrawan Tanah Air lainnya dipilih dewan kurator. Selain itu, dewan kurator TSI juga memilih sastrawan Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf.

Kemudian, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto.

"Ke-31 sastrawan ini akan mendapat honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata," ujar Dino.

Sedangkan untuk sastrawan di luar 31 itu, panitia hanya menyediakan penginapan, konsumsi, transportasi lokal, honor tulisan, dan cendera mata.

Menurut Ketua Pelaksana TSI 4, Sofyan Daud, tema yang diusung adalah Sastra Indonesia abad ke-21, keberagaman, silang budaya dan problematika. "Kegiatan TSI 4 meliputi seminar, musyawarah sastrawan, penerbitan antologi sastra, panggung sastra, pameran/bazar/launching buku, lokakarya, dan wisata budaya," kata Sofyan Daud dalam rilis yang diterima Lampung Post, Jumat (8-4).

Sehubungan dengan itu, pihaknya mengundang banyak pihak untuk mengirimkan karya dengan ketentuan sebagai berikut. Bagi sastrawan yang ingin terlibat dalam kegiatan tersebut, dapat mengirimkan lima puisi bagi penyair. Puisi tersebut ditulis dalam tahun 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, dan kirim ke puisi.tsi4@gmail.com.

Untuk cerpenis, dikirimkan tiga cerpen karya asli yang ditulis pada 2011, belum dipublikasikan ke media mana pun, panjang cerpen berkisar 600 kata, memakai font times new roman ukuran 12, dan di-e-mail ke cerpen.tsi4@gmail.com. (ZUL/D-2)

Lampung Post

Respon masyarakat sastra

Respon masyarakat sastra terhadap dua forum sastra ini beragam. Seorang Khrisna Pabichara, misalnya, merespon pemberitaan di Lampung Pos dan menulis seperti ini:

Pertama, dengan asumsi kabar yang disampaikan Bung Isbedy Stiawan Z.S. tepat adanya, selamat kepada sastrawan Nersalya Renata, Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, Arafat Nur, Raisya Kamila, Hasan Al Banna, Heru J.P., Esha Tegar Putra, Sulaiman Jaya, Wa Ode Wulan Ratna, Gunawan Triatmojo, dan Anindita Siswanto Thayf, A. Muttaqin, M. Faizi, Ni Made Purnamasari, Morika Tetelepta, Mariana Lewier, Irianto Ibrahim, Benny Arnas, Marhalim Zaini, Ramon Damora, Sunlie Thomas Alexander, Hanna Fransisca, Eko Putra, Ahmad Faisal Imran, Dheny Jatmiko, Fina Sato, Husnul Khuluqi, Pranita Dewi, Sofyan Daud, dan Indrian Koto yang telah dipilih Dewan Kurator untuk mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Ternate, Maluku Utara, 25—29 Oktober mendatang dengan fasilitas honorarium tulisan, biaya transportasi dari tempat asal ke tempat tujuan (pulang-pergi), penginapan (akomodasi), makan-minum (konsumsi), transportasi lokal selama kegiatan berlangsung, uang lelah, dan cendera mata.

Kedua, apa kriteria yang digunakan Dewan Kurator untuk memilah ke-31 sastrawan tersebut di atas dan memeisahkan mereka dari proses seleksi sebagaimana yang diumumkan oleh Sekretaris Panitia TSI, Dino Umahuk, di Grup FB TSI-4? Apakah mereka sudah mengirimkan karya terlebih dahulu sehingga dipilih lebih cepat dari ambang batas pengiriman karya?

Ketiga, mengapa ke-31 sastrawan tersebut mendapat fasilitas biaya transportasi dari tempat asal ke Ternate (pergi-pulang), sementara yang mengikuti seleksi karya—jika dipilih oleh Dewan Kurator—harus menanggung sendiri biaya transportasinya? Apakah ini salah satu bentuk “keragaman” seperti tema usungan TSI kali ini?

Maaf jika ketiga pertanyaan ini kurang berkenan. Salam takzim.

Respon Khrisna Pabichara itu menyangkut persoalan yang krusial, yakni terkait penetapan peserta, penyeleksian karya, dan fasilitas yang disediakan oleh panitia TSI V. Panitia TSI IV bagaimanapun telah menyusun konsep, baik menyangkut tema, susunan acara, dan penyelenggaraannya. Untuk kesuksesan semua itu, sepengetahuan saya, panitia memandang perlu menerbitkan Surat Keputusan Dewan Kurator. Dewan Kurator inilah yang lalu menjadi lokomotif mematangkan konsep siapa yang diundang sebagai peserta, pembicara, dan berbagai hal lain terkait dengan karya dan kekaryaan. Soal teknis penyelenggaraannya tentulah menjadi otoritas tuan rumah yang membentuk kepanitiaan tersendiri.

Pertanyaan Khrisna Pabichara menyangkut hal yang cukup krusial dan vital, yakni tentang kriteria peserta yang difasilitasi (diundang secara khusus) dan peserta yang difasilitasi secara terbatas (peserta umum), serta kriteria Dewan Kurator menyangkut penetapan peserta dan kriteria karya yang akan dibukukan. Tentu mengenai fasilitas ini bukan menjadi konsumsi semua peserta, melainkan menjadi semacam "privasi" panitia penyelenggara. Soal kriteria penetapan peserta, tentulah hanya Dewan Kurator yang memahaminya. Meski begitu, jika dipandang penting dan untuk menjaga iklim kondusif, peserta (yang diundang atau peserta umum) perlu juga diberi informasi terkait kriteria-kriteria itu.

Dharmadi Penyair di Grup Pertemuan Penyair Nusantara V berpendapat seperti ini:

Ketika kita bicara tt kreativitas,karya seni, dalam hal ini puisi,sesungguhnya tak lagi bicara tua atau muda.itu hanya masalah siapa dulu yg lahir.tak yang tua tak yang muda,pertaruhannya karya.yang merasa sudah senior tapi tak berkarya lagi hanya menggendong kejayaan masa lalunya apa artinya.bagi yang muda,kalau juga baru menulis beberapa puisi kebetulan ada yang bagus,dan dibangga2kan ke mana2 sama saja.karya dan karya cintailah proses,berproseslah dalam waktu.kenapa mesti ingin populer?mari terus belajar,saling menghormati,bertaruhlah dg karya.

Pandangan Dharmadi Penyair ini tentu saja memang menjadi acuan bagi panitia dan dewan kurator baik pada TSI maupun pada PPN. Kedua forum sastra itu tentu saja mengutamakan karya, bukan usia kesastrawanan. Jika kriteria utama menyangkut kesertaan pada dua forum sastra ini bersandar pada kualitas karya, maka kedua even sastra ini tentulah memiliki kontribusi dalam hal dinamika sastra Indonesia. Terkait dengan hal kriteria, seleksi peserta, dan kesuksesan penyelenggaraan oleh panitia, saya sejalan dengan pendapat seorang Tarmizi Rumahhitam yang menyampaikan pandangannya seperti ini:

banyak majelis sastra dan penyair yang dilangsungkan setiap tahun, baik skala nasional, skala lokal, bahkan internbasional. saya jadi penyaksi perdebatan tentang kepesertaan. saya berpikir, siapapun yang menyelenggarakan, mari kita hargai sebagai pengendali penuh aturan main yang dirancang penyelenggara hajatan tsb. sebab panitia yang tentunya khatam dengan kondisi dan keseiapan sebagai taun dan nyonya rumah

Menurut saya, dunia sastra memang penuh dengan dinamika yang terwujud melalui perayaan kata-kata. Kata-kata di dunia sastra memang mewakili siapa yang berkata-kata. Dunia sastra memang menunjukkan beragam suara dan aneka pandangan yang selalu berbeda-beda. Segala pandangan yang bersifat pro dan kontra (jika ada) perlu dijadikan mortir untuk selalu melakukan penyempurnaan penyelenggaraan forum sastra dari masa ke masa. Saya kira, siapa pun panitia penyelenggara forum sastra menghendaki penyempurnaan-penyempurnaan dari pelaksanaan sebelumnya. Ini merupakan itikad yang baik. Kita perlu berusaha memahami "apa maunya" panitia penyelenggara dan berusaha memberikan dukungan.

Dua forum sastra ini (TSI IV dan PPN V) kiranya menuntut panitia (dewan kurator) bekerja ekstra keras untuk menjembatani berbagai kepentingan demi majunya kualitas sastra dan jayanya sastrawan Indonesia. Memang, tidak semua keinginan dapat dilaksanakan, hal yang terpenting ialah panitia (dibantu oleh dewan kurator) dapat memberikan "ruang bermain" atau panggung yang tepat. Siapa berperan sebagai apa, karya mana yang layak diberi tempat, dan agenda apa yang sekiranya perlu dimantapkan. Jagad sastra kian menampakkan dinamika dan gejolak. Dinamika dan gejolak itu harus dipandang sebagai kegairahan dan semangat membangun peradaban melalui dunia kata-kata. Kita tak perlu membenturkan kata-kata antara satu dengan yang lain, jika pun ada perbenturan juga itu merupakan bagian dari dinamika yang mudah-mudahan akan mendewasakan sikap dan perilaku insan-insan sastrawan.

Hidup sastrawan Indonesia!

Jambi, 22 April 2011

Selasa, 05 April 2011

Beberapa Puisi-Puisi Satries di Kumpulan PENJAGA DIAN



CUACA MEMELAS

beginilah cuaca memainkan hatiku
di saat seekor kelelawar
mengepakkan sayap pengeluhannya
karena hidup mesti dimaknai jua
karena derita mesti dialami jua
karena resah mesti dirasai jua
karena gundah gulana mesti digauli jua
karena nelangsa mesti diresapi jua
beginilah cuaca memainkan melodinya
di saat tak satupun lagu
yang bisa kunyanyikan untuknya


LINTASAN

lelah waktu
goreskan kisah
ada petualangan
yang masih terus
berjalan
mungkin cermin hati
yang dilimbur angin
menempa zaman


MALAM

gundahku datang padamu
menyuarakan kelam jiwaku
dalam perenungan panjangku
tiba – tiba terdengar bunyi jatuh
kucing berebut mangsa
membangunkan anganku
untuk merebut mimpiku


SUARA

suara menyuara resah
suara menyuara gelisah
suara menyuara duka
suara menyuara luka
suara menyuara derita
suara menyuara papa
aku kehilangan suara


PEREMPUANKU

desah nafas angin
lewat di hidungmu
hembusan angan
mencapai pelabuhanku

SEJUMLAH KONTROVERSI HADIAH SENI (SASTRA)

: Hudan Nur)*


“Budi Palopo dapat hadiah seni dari gubernur. Tahun depan aku njagoin Lan Fang. Tahun depannya lagi Tjahjono Widianto terus A. Muttaqin, S. Yoga ==> lha kok klik DKJT semua ya? Politiknya kayak TUK ya… atau sama juga DKL. Wah politicking jadi virus juga di seni. Bencana nih!” (sms seorang teman)

NAMPAKNYA keberlangsungan sejarah sastra memang harus bertengkar dan berludah-ludah. Tidak hanya menyuarakan ketertindasan sosial tetapi juga bertengkar dengan koleganya. Sehingga penyasastra yang idealnya soliter cenderung berklik. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang layak mendapatkan Ramon Magsasay bahkan Nobel dijegal karena dendam lama Taufik Ismail kala Pram berkuasa. Pun halnya Pablo Neruda di tahun 1964 saat ia menjadi petinggi Chile, ia tidak mendapat Nobel. Saat itu, Sartre sendiri mengakui Neruda-lah yang layak mendapatkan Nobel tetapi karena ada campur tangan CIA, Nobel diberikan kepada Sartre dan ia menolaknya.

Sejarah sastra memang identik dengan pertengkaran dalam arti sempit. Gabriel Garcia Marquez pernah ditonjok Mario Vargas Llosa, begitupun Chairil Anwar juga pernah ditonjok HB. Jassin. Kini pertengkaran diwarisi dengan sistem perkubuan atau istilah berklik. Sebut saja, klik Salihara atau klik TUK atau klik KSI dan lain-lain. Bahkan penghadiahan bidang seni, budaya, atau sastra berdasarkan sistem kolega dan berklik.

Ironisnya karya tidak lagi dinilai dari segi kualitas tetapi faktor-faktor lain yang bersifat kepentingan tertentu dan acapkali berhubungan dengan kekerabatan. Tentu hal ini tidak fear! Ada banyak sesi penghadiahan yang diberikan oleh petinggi daerah, SKPD tertentu yang menjadi kontroversi karena dinilai tertutup dalam menentukan si penerima anugrah atau hadiah. Sebut saja Dinas Budaya dan Pariwisata Propinsi Kalimantan Selatan dengan Anugrah Budayanya yang dinilai bagi sebagian kalangan hal ini ganjil. Idealnya sebuah hadiah diberikan dengan kriteria tertentu dan sistem penjurian oleh pihak yang kompeten. Sejauh ini, pihak panitia tidak pernah mengekspose dan terkesan tertutup.

Selama ini, hadiah seni (sastra) yang diberikan oleh gubernur juga tidak ditahu secara luas siapa-siapa yang menilai pun kriteria penilaian yang bagaimana hingga seorang mendapat hadiah sastra, sebab sastra bukan semata teks (aksi) tetapi juga gerakan (reaksi) sehingga bila ada kekeliruan di suatu waktu bisa dikoreksi. Sebagai contoh, seorang sastrawan asal Hulu Sungai Selatan, Aliman Syahrani (AS) yang pernah mendapatkan hadiah sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Dan beberapa waktu terakhir mendapat koreksi atas karya-karyanya yang disinyalir memflagiat karya orang lain.

Dalam beberapa pertemuan rekan-rekan sejawat yang tidak disengaja, perbincangan menyoal keaslian karya dan sejumlah bukti-bukti selalu mengarah ke AS. Terakhir puisinya yang termasuk dalam Antologi Sastra Kalimantan Selatan di Tabalong tahun 2010 yang berjudul Pasar Terapung juga disebut-sebut memiliki persamaan dengan orang terdahulunya. Terlebih disebut-sebut, wajar saja kontroversi flagiator Noor Hidayah bisa menang wong jurinya juga seorang flagiat! Sangat memprihatinkan, bukan?

Sebagai contoh; “Setelah melakukan pengkajian dan menimbang berbagai masukan, cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon tulisan Dadang Ari Murtono, yang dimuat Kompas Minggu (30/1) dinyatakan dicabut dan tidak pernah dimuat dengan berbagai alasan. Redaksi (dimuat Kompas Minggu 6 Februari 2011 hal.20).” Info Abdul Malik Mojokerto.

Barangkali hal beginilah yang seharusnya ditiru dalam khasanah penghadiahan seni (sastra) dan event sastra agar penulisnya tidak berulah lagi. Lalu bagaimana dengan AS yang terlanjur mendapat hadiah sastra namun belakangan disinyalir karyanya flagiat? Mungkin, kalau permulaan masih bisa ditorerir bagi sebagian kalangan, tetapi AS hingga 2010 memasukkan puisi Pasar Terapungnya dalam Antologi Aruh Sastra dan menjadi pergunjingan berbagai pihak.

Selain itu kontroversi serupa juga terjadi ketika Balai Bahasa Banjarmasin (BBB) yang setiap dua tahun sekali mengumumkan nama-nama yang mendapat award. Bagi sejumlah orang perorang kenapa tidak A, Kenapa harus B yang dapat? Kriterianya apa? Yang menilai siapa? Sebagian kalangan beranggapan masih ada yang lebih tepat untuk menerimanya jadi kenapa harus B, kenapa tidak A? Ada seorang tua berkata, bila ingin mendapat award serupa kita harus pro dan jangan pernah mengkritisi dalam bentuk apapun karena misi BBB hanya memberikan apresiasi terhadap orang yang berkiprah di dunianya, tanpa misi politik apapun. Dan sudah tentu adalah mereka yang sudah dikenal (dekat) berklik oleh BBB.

Begitu pula dengan Radar Banjarmasin Award (RBA) yang pertama kali digelar dipenghujung tahun 2010 yang lalu di kawasan Minggu Raya Banjarbaru, kenapa yang dapat adalah Sainul Hermawan dan Kayla Untara. Malahan seorang teman menyatakan “Wah bila Sainul saya sepakat, tetapi untuk Kayla saya belum punya referensi!” Isu yang beredar karena keduanya sering mengirimkan tulisan ke Radar Minggu. Hingga pada malam penganugrahan yang semestinya dihadiri ratusan simpatisan yang datang hanya sebagian kecil, itupun mereka yang berdomisili di Banjarbaru, yang lainnya tidak datang dengan alasan tidak tahu dan sebagian lagi berkonfrontasi (klik).

Padahal diluar kecenderungan like dan dislike ataupun klik di Kalimantan Selatan yang apriori, RBA (mungkin) ingin membangkitkan kelesuan sastra Koran bagi penulis lokal yang semakin ke depan semakin jarang mengekspose tulisannya. Tetapi, setelah ajang RBA itu, tidak terlihat ada implikasi positif dalam bentuk nominal apresiasi ke setiap penulis medianya begitu juga dengan halaman rubriknya yang tidak bertambah. Atau penulisnya yang sedikit hingga sampai sekarang rubriknya hanya satu halaman?

Euforia hadiah seni (sastra) di sejumlah penganugrahan hanya menjadi gondok dan pertanyaan bisu. Tidak ada penilaian secara kualitas yang digunakan dalam menilai, hanya pertanda bahwa eksistensinya dinilai ada. Selebihnya faktor kedekatan, kenal, dan klik. Itu saja!***

)*Koordinator Divisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Hak-hak Budaya dan Sastra, Yayasan Tadulakota’

ANTOLOGI HASIL TEMU SASTRAWAN INDONESIA III DI TANJUNG PINANG,KEPRI




Kota Tanjungpinang merupakan salah satu pusat penting Kerajaan Melayu. Ia pernah menjadi menjadi gerbang Kerajaan Bintan sejak tahun 1673 Kerajaan Johor muncul gemilang di Hulu Sungai Carang – atau dikenal sebagai Sungai Riau. Pada masa itu dunia kalam, tulis-menulis berbagai ilmu pegetahuan, khususnya agama Islam dan sastra tumbuh subur. Maka dikenallaah nama pengarang Raja Ahmad dan Engku Putri Hamidah, anak Raja Haji Fisabilillah. Kepengarangan terus berlanjut sampai kepada Raja Ali Haji (anak Raja Ahmad dan merupakan cucu Raja Haji), Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau dan sampai kepada Aisyah Sulaiman Riau. Selepas itu, muncul Hasan Junus, Rida K. Liamsi, Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin dan lain-lain sampai Suryatati A. Manan.
Buku Tanjungpinang Punya Cerita ini mencoba menghimpun cerpen dan puisi yang berlatar Kota Tanjungpinang karya sejumlah pengarang/penyair dari berbagai kota di tanah air. Mereka adalah Ahmadun Yosi Herfanda, Chavchay Syaifullah, Hudan Nur, Isbedi Stiawan ZS, Rida K. Liamsi, Sitok Srengenge, Tan Lioe Ie, Viddy AD Daery, Fakhrunnas MA Jabbar, Nanang Suryadi, Fahrudin Nasrulloh, Gus tf Sakai, Joni Ariadinata, M. Raudah Jambak, Raudal Tanjung Banua, dan Triyanto Triwikromo; di samping dari Tanjungpinang sendiri, Abdul Kadir Ibrahim dan Suryatati A Manan.
Ini bukan sekadar romantisme-kenangan, namun sebuah upaya membangkitkan kemungkinan kreatif dari sebuah kota, sekaligus mendokumentasikan pengalaman sastrawan atas kota yang hikmatinya. Karya sastra sebagai dokumentasi sosial niscaya menemukan persilangannya yang tepat: ia merekm jejak pergulatan Kota Tanjungpinang, dulu, sekarang dan masa datang.